Kampanye social distancing menjadi tidak efektif dan gagal saat mobilitas sosial horizontal masih berlangsung di ruang publik. Social distancing hanya akan efektif jika pemerintah mau menggunakan pendekatan lockdown atau karantina wilayah secara ketat, meskipun biaya hidup rakyat miskin terdampak harus ditanggung pemerintah selama wabah berlangsung.
![]() |
Yusdi Usman |
Oleh: Yusdi Usman
(Sosiolog, Pengamat Kebijakan
Publik, dan kandidat Doktor Sosiologi UI)
KANDANK WARAK - Sejak kasus
corona pertama ditemukan di Wuhan, China, dunia menjadi berubah. Perubahan
tidak saja terjadi dalam bidang kesehatan saat wabah ini menjadi pandemi,
tetapi juga dalam aspek sosial, ekonomi dan politik. Saat ini, wabah corona
sudah menjangkiti 697.244 orang di 204 negara. Angka kematian dari wabah corona
di tingkat global mencapai 33.257 orang. Itu angka resmi yang diumumkan WHO.
Di
Indonesia, sampai 31 Maret 2020, jumlah kasus positif corona menurut data resmi
pemerintah, mencapai angka 1.528 orang dengan tingkat kematian sebanyak 136
orang. Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan bahwa sampai
akhir Maret 2020, di Jakarta terdapat 283 jenazah yang dikuburkan mengikuti
protap covid-19. Dengan kata lain, meskipun tidak terdata secara resmi di
pemerintah pusat, di Jakarta sendiri, jumlah angka kematian akibat corona
mencapai lebih dari dua kali lipat data resmi pemerintah pusat.
Terkait
angka kematian akibat corona ini memang dilematis antara data resmi yang
tercata di pemerintah dan data tidak resmi yang diprediksikan oleh pihak lain.
Meskipun secara resmi kita harus mengacu pada data pemerintah, namun sebagai pembanding
kebenaran data, data di luar informasi resmi juga perlu menjadi pertimbangan.
Radio Free
Asia (www.rfa.org) tanggal 27 Maret 2020 melaporkan data kematian akibat corona
di Wuhan yang sangat mencengangkan. Pemerintah China menyebutkan bahwa angka
kematian akibat corona di Wuhan hanya sebanyak 2.500 orang. Sementara penduduk
Wuhan, sebagaimana investigasi RFA menyebutkan bahwa berdasarkan data kremasi
mayat corona, jumlahnya mencapai angka lebih dari 40.000 orang meninggal.
Perbedaan
data resmi dan tidak resmi ini memang menjadi dilematis bagi masyarakat. Bagi
pemerintah, semakin rendah angka penularan dan kematian akan semakin bagus,
karena memperlihatkan kinerja pemerintah yang lebih baik. Sementara bagi
masyarakat, kebenaran data menjadi penting sebagai upaya peningkatan kesadaran
bahwa tingkat bahaya virus corona ini semakin besar. Karena itu, keterbukaan
informasi publik menjadi menting dalam menyelesaikan masalah krusial seperti
wabah corona ini.
Konsep Jarak Sosial (Social Distancing)
Salah satu
konsep sosiologi yang digunakan dalam penanganan wabah corona ini adalah social distancing. Dalam sosiologi
dikenal salah satu paradigma dari tiga paradigma sosiologi, yakni
interaksionisme simbolik. Paradigma ini memfokuskan analisis pada interaksi sehari-hari
individu dan masyarakat. Karena itu, paradigma ini disebut juga dengan “the sociology of everyday life”. Dalam paradigma ini, Herbert Blumer (dalam Sunarto, 2004) menjelaskan bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.
Interaksi
individu dan masyarakat juga ditentukan oleh tiga jenis aturan. David A Karp
dan W.C Yoels (1979) menyebutkan bahwa ada tiga jenis aturan dalam interaksi,
yakni aturan mengenai ruang, waktu dan gerak/sikap tubuh. Terkait penggunaan
ruang, maka dikenal istilah social
distance atau jarak sosial yang dikembangkan lebih lanjut oleh antropolog
Edwar T. Hall.
Hall (1982)
menyebutkan bahwa terdapat empat jarak yang digunakan individu dan masyarakat
dalam melakukan interaksi sosial, yakni jarak intim (intimate distance), jarak pribadi (personal distance), jarak sosial (social distance), dan jarak publik (public distance). Masing-masing jarak dalam interaksi sosial ini
berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Masyarakat Prancis
misalnya terbiasa bertemu sambil cium pipi antara laki-laki dan perempuan
(jarak intim), dimana hal yang demikian dianggap tidak biasa dalam budaya
masyarakat lain.
Secara
kuantitatif, Hall menyebutkan bahwa jarak intim atau intimate distance (0 – 45 cm)merupakan interaksi sosial yang
melibatkan secara intensif kedekatan tubuh, termasuk penglihatan, bau badan,
suara, sentuhan kulit dan hembusan nafas antara individu-individu yang terlibat
dalam interaksi intim ini.
Jarak
personal (personal distance)
merupakan interaksi sosial pada jarak 0,45 cm – 1,22 m. Interaksi ini dapat
kita temui pada individu-individu yang mempunyai hubungan dekat. Misalnya
interaksi suami istri atau teman akrab di ruang publik, dimana diantara mereka
masih bisa saling bersentuhan.
Jarak
sosial (social distance) merupakan
interaksi sosial yang berada pada jarak antara 1,22 m sampai 3,66 m. Dalam
jarak sosial ini, setiap orang dapat saling berkomunikasi secara nyaman dan
tanpa saling menyentuh satu sama lain. Jika anda berdiri di dekat seseorang
dalam kereta komuter yang longgar, kemudian orang tersebut pindah posisi dan
menjauh, maka ini menunjukkan orang tersebut tidak nyaman terlalu dekat dengan
anda dan ia ingin berada dalam jarak sosial yang nyaman.
Sementara
jarak publik (public distance)
merupakan interaksi sosial yang terjadi pada jarak lebih dari 3,66 m. Jarak
publik misalnya jarak antara tokoh politik berbicara di depan pendukungnya.
Perlu
ditegaskan bahwa konsep Hall tentang jarak dalam interaksi sosial tersebut
merupakan kecenderungan yang ada dalam masyarakat Amerika Serikat. Karena itu,
untuk masyarakat di wilayah lain, termasuk Indonesia, jarak untuk masing-masing
jenis di atas bisa disesuaikan menurut budaya masing-masing.
Social Distancing Gagal
Interaksi
sosial adalah kondisi alamiah yang ada dalam setiap masyarakat. Pola interaksi
dan jarak antar individu dalam interaksi ditentukan oleh budaya masing-masing
masyarakat, yang tentu saja akan berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya. Namun demikian, terkait dengan jarak (distance) dalam interaksi ini, perbedaan tidak begitu signifikan,
sehingga konsep yang dikembangkan Hall (1982) tersebut masih tetap relevan kita
gunakan untuk analisis kasus wabah corona di Indonesia.
Hall
menyebutkan bahwa jarak sosial (social
distance atau social distancing)
adalah interaksi sosial dalam jarak 1,22 sampai 3,66 meter. WHO membuat aturan
social distancing ini minimal 1 meter dalam interaksi sosial untuk mengurangi
peluang penularan virus corona antar satu individu kepada individu lainnya.
Jarak sosial minimal yang dibuat WHO ini berdasarkan jarak lompatan butir-butir
ludah saat seseorang batuk atau bersin. Dalam jarak 1 meter, maka saat seorang
penderita positif corona batuk atau bersih dalam kondisi tidak memakai masker,
maka jarak butir-butir ludahnya hanya sampai kurang dari 1 meter.
Karena itu,
mengikuti aturan WHO ini, maka pemerintah Indonesia juga menerapkan konsep
social distancing dari Hall ini sebagai pendekatan dalam pembatasan penularan
virus corona dalam masyarakat.
Meskipun
proses pencegahan penyebaran corona ini bukan hanya social distancing, namun
social distancing menjadi pendekatan kunci diantara pendekatan-pendekatan lain,
termasuk memakai masker, dan cuci tangan pakai sabun.
Konsep yang
lebih luas dari social distancing ini adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar) yang ada dalam UU No. 6/2018 dan digunakan Presiden Jokowi sebagai
pendekatan dalam penanganan wabah corona di Indonesia. Mengacu pada konsep
Hall, PSBB ini sudah masuk dalam ranah jarak publik (public distance) dalam arti luas.
Jika
melihat perkembangan wabah corona yang terus meningkat jumlahnya dari hari ke
hari, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendekatan social distancing gagal? Saya akan menjawab ya. Ada beberapa
indikasi yang menunjukkan pendekatan social
distancing ini gagal, yakni:
Pertama, interaksi
di ruang publik seperti pasar tradisional, transportasi publik, warung-warung
makanan, toko-toko swalayan, dan ruang publik lainnya yang masih berjalan,
cenderung tidak mematuhi pendekatan social
distancing ini.
Kedua, mobilitas
sosial horizontal antar satu wilayah ke wilayah lainnya masih terjadi.
Mobilitas sosial horizontal ini merupakan salah satu bentuk interaksi sosial di
ruang publik. Saat mobilitas sosial horizontal masih terjadi, maka pendekatan
social distance sangat mungkin terjadi diantara individu-individu yang bergerak
antar satu wilayah ke wilayah lainnya. Kemungkinan mereka berperan sebagai carrier (pembawa) virus corona kepada
orang lain atau keluarganya di kampung menjadi sangat besar, yang menyebabkan
sebaran corona menjadi lebih luas.
Ketiga, mobilitas
pekerja informal di ruang publik karena tidak ada pilihan bagi mereka kecuali
harus berada di ruang publik yang membuat social distancing sangat mungkin
dilanggar.
Perlunya Kontrol Negara
Dalam
interaksi sosial, semua jarak, baik jarak intim (intimate distance), jarak pribadi (personal distance), jarak sosial (social distance), dan jarak publik (public distance) membutuhkan syarat-syarat tertentu. Dalam kereta
komuter yang padat saat jam berangkat dan pulang kerja di Jakarta misalnya,
maka konsep jarak dalam interaksi sosial ini menjadi tidak berlaku. Semua
orang, laki-laki dan perempuan, berdesak-desakan dalam kereta.
Konsep
jarak dalam interaksi sosial ini hanya akan berlaku dalam kondisi normal, dalam
interaksi normal sehari-hari di masyarakat. Dalam kondisi tidak normal, jarak
sosial bisa jadi mudah dilanggar karena berbagai sebab. Karena itu, perlu ada
kekuatan memaksa untuk memastikan jarak sosial bisa dijalankan.
Dalam
sosiologi disebut dengan pendekatan struktur sosial. Dalam konteks ini,
struktur sosial yang paling efektif dan mempunyai legitimasi dalam mengontrol
prilaku masyarakat untuk mematuhi aturan social distancing adalah kontrol
negara melalui kebijakan memaksa (aturan perundang-undangan). Namun saya tidak
setuju dengan pendekatan darurat sipil yang merupakan pendekatan untuk situasi
perang.
Masalahnya
adalah, pemerintah sebagai representasi negara tidak menerapkan kontrol yang
memadai untuk memastikan berjalannya social distancing ini. Hal ini terlihat
dari sikap dan berubah-ubahnya kebijakan pemerintah dalam merespon wabah corona
di Indonesia.
Pada awal
2020, dimulai dari sikap mengangkal (denial),
meremehkan, dan menganggap virus corona tidak akan masuk ke Indonesia,
pemerintah menjadi abai dalam penyebaran wabah ini ke Indonesia. Sikap ini
berlanjut dengan lambatnya pemerintah dalam merespon perkembangan virus corona
dalam semua dimensi. Saat perkembangan wabah menjadi besar saat ini, tentu saja
pemerintah sudah menjadi kalang kabut karena banyak hal tidak siap.
Kampanye
social distancing menjadi tidak efektif dan gagal saat mobilitas sosial
horizontal masih berlangsung di ruang publik. Social distancing hanya akan
efektif jika pemerintah mau menggunakan pendekatan lockdown atau karantina wilayah secara ketat, meskipun biaya hidup
rakyat miskin terdampak harus ditanggung pemerintah selama wabah berlangsung.
Lemahnya kontrol negara inilah yang menyebabkan social distancing tidak berjalan dengan baik dan bahkan cenderung gagal di ruang publik. Bagaimanapun, belum terlambat bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih efektif dalam menangani wabah corona ini, terutama untuk memastikan social distancing berjalan lebih efektif dalam rangka memotong rantai penularan wabah corona dalam wilayah yang lebih luas di tanah air.