Wabah bukanlah hal yang baru. Ia masalah klasik yang dapat dihindari dengan cara yang juga klasik. Maka, apapun namanya, apakah lockdown, social distancing, atau apapun, pemisahan menjadi penting supaya terbebas dari wabah.
![]() |
Ananita Damarjati |
Oleh: Ananta Damarjati
KANDANK WARAK - Empat belas abad yang lalu, seorang penggembala ternak mengisahkan sesuatu
tentang wabah. Kini kisah itu menjadi pedoman banyak orang.
Sang
penggembala, yang bernama Muhammad, yang saya junjung setinggi langit itu,
berkata: “Kalau kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, janganlah kalian
memasuki negeri tersebut. Namun bila wabah itu menyebar di negeri kalian,
janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.”
Saya sudah
belajar Islam sejak kecil tapi hadist itu baru saya tahu dari internet beberapa
hari lalu. Ada dua hal yang saya tangkap. Pertama, ia menegaskan kembali
kepada saya, bahwa Nabi Muhammad adalah patron kesehatan sejati. Kedua,
persoalan wabah bukanlah hal baru.
Pertama soal
kesehatan. Saya bisa bayangkan betapa joroknya masyarakat Arab sebelum Nabi
Muhammad datang dan bicara banyak soal kesehatan, terutama yang ada sangkut-pautnya
dengan kebersihan diri. Apalagi, seluruh pedoman yang dibawa Muhammad
sebetulnya lebih mirip ‘respons’ dalam upaya mengubah tatanan lama yang
kurang beradab.
Dengan kata
lain, apa-apa yang diajarkan Nabi Muhammad, adalah kebalikan dari yang saat itu
membudaya di masyarakat. Jadi bila Muhammad menganjurkan para sahabatnya pipis
jongkok, maka dapat dibaca secara gampang, bahwa budaya yang berkembang di
masyarakat saat itu adalah pipis berdiri (atau bahkan, siapa yang tahu! Bisa
jadi malah lebih buruk: pipis berdiri sambil melawan angin).
Pembacaan
demikian iseng belaka dan hehehe! tidak ada dasar ilmiahnya. Tapi jelas bahwa
ajaran kesehatan seperti bersiwak, makan cukup, minum sambil duduk, tidak tidur
sore, tidak mabuk, termasuk tidak makan babi, telah secara dinamis mengubah
masyarakat Arab. Pada gilirannya, banyak peradaban menerima konsep kesehatan circadian
rhythm (irama biologi) ala Nabi Muhammad itu.
Dalam
situasi wabah Korona sekarang, saya rasa kita juga perlu berpegang kepada Nabi,
terutama kepada hadistnya yang disebut di awal-awal. Bukan karena hadist itu
dapat dijadikan sebagai model penyembuhan. Melainkan karena ia lebih merupakan
protokol sosial yang mampu menghindarkan kita dari penyakit menular.
Naskah-naskah
klasik mungkin juga bisa memperkaya pandangan kita. Di Cina, misalnya, para
Konfusianis percaya penyakit dapat muncul dari penyesuaian yang tidak memadai
pada aturan dan kebiasaan masyarakat. Dan satu-satunya cara individu terhindar
dari penyakit adalah mengubah dirinya menyesuaikan tatanan sosial yang ada.
Kita jelas
tahu betul, sehat dan sakit adalah sama-sama hal yang normal. Kadang-kadang
sakit tidak terhindarkan dari proses kehidupan yang sedang berlangsung. Akan
tetapi, adaptasi total antara laku tubuh kita dengan lingkungan perlu terus
diupayakan. Dan untuk mencapainya setiap kita memainkan peran penting, karena
kita bertanggung jawab atas perawatan kesehatan masing-masing.
Yang ingin
saya katakan adalah, wabah bukanlah hal yang baru. Ia masalah klasik yang dapat
dihindari dengan cara yang juga klasik. Maka, apapun namanya, apakah lockdown,
social distancing, atau apapun, pemisahan menjadi penting supaya terbebas dari
wabah.
Selama kita
mampu sepaham untuk melakukan segala bentuk keterpisahan dengan benar dan
tepat, di situlah momen keselarasan timbul, yang pada gilirannya akan membawa
kita pada tujuan bersama yang kita kehendaki. Dan ketika segala sesuatu terasa
benar-benar tepat dan segalanya dapat dilakukan dengan tenang, dari situlah
didapatkan pengalaman spiritual tertinggi yang mendewasakan kita sebagai
bangsa.
Video pilihan: