Dunia seni dan sastra di Semarang sering diremehkan: Semarang nggak ada apa-apanya. Menurut saya itu stigma. Stigma yang diberikan kota-kota di luar ibukota Jawa Tengah.
![]() |
Eko Tunas |
Oleh: Eko Tunas
(Budayawan dan Seniman serba bisa tinggal di Semarang)
KANDANK WARAK - Dunia seni dan sastra di Semarang sering diremehkan: Semarang nggak ada apa-apanya. Menurut saya itu stigma. Stigma yang diberikan kota-kota di luar ibukota Jawa Tengah. Mengapa 'cap negatif' itu muncul. Tak lain karena rasa iri yang begitu merasuk, bahkan sejak Raden Saleh yang karyanya mendunia. Bukankah konon tanah Taman Ismail Marzuki (TIM) adalah tanah milik/wakaf Raden Saleh.
Sejak Raden Saleh katakanlah hingga Triyanto Triwikromo adalah 'jago' estetika sekaligus sukses 'pasar' dunia. Dua sisi sukses inilah yang jarang dimiliki seniman dan sastrawan lokal maupun nasional. Satu hal yang belakangan menimbulkan tandatanya besar, mengapa sastrawan dan perupa Goenawan Mohamad mengadakan pameran besar tunggalnya justru di Semarang, di Gallery Semarang. Ada apa sebenarnya Semarang.
Di dunia sastra, Semarang mencatat debutnya katakanlah sejak NH Dini. Seorang sastrawan yang novelnya banyak diterbitkan Gramedia. Kemudian yang menggebrak TIM di 1980-an, Darmanto Jatman, dengan puisi multilinguanya. Sesudah itu, catatlah nama-nama: S Prasetyo Utomo, Timur Sinar Suprabana, Beno Siang Pamungkas, Handry TM untuk menyebut beberapa nama.
Lalu generasi sesudah itu, munculnya Martin Suryajaya. Seorang sastrawan dan filsuf muda yang namanya mendadak berkibar sebagai kritikus dan novelis terpercaya, terutama perdebatannya dengan Goenawan Mohamad. Buku filsafatnya Estetika yang setebal bantal sangat mengejutkan bagi dunia sastra. Juga novelnya yang terpilih sebagai karya terbaik versi Kompas.
Hampir seangkatan munculnya tokoh-tokoh muda: Adin Salahudin, Himas Nur, Setia Naka Ardian -- untuk menyebut beberapa nama lagi. Nama Adin ini menjadi penanda beda aktivitas Semarang dengan kota-kota besar lain yang memang lebih mengutamakan produksi. Adin dengan garapan kesenian kampungnya, antara lain menggarap kampung Bustaman dalam elan seni-budaya.
Begitulah Semarang, yang menurut pengamatan Daniel Hakiki, merupakan ciri kesenian Semarang. Bagaimana seniman Semarang kebanyakan lebih kerap merespon persoalan sosial. Lalu adanya kerjasama seniman dengan LSM. Belakangan saat mereka merespon penggusuran kampung Tambakrejo. Antaralain filmnya dibuat oleh Anto Galon.
Penanda dari itu tampak pada kepenyairan Himas Nur, yang puisinya banyak mengangkat tema nasib masyarakat pinggiran, dan kerap memenangkan cipta puisi. Seangkatan Himas bisa dicatat kritikus film dan novelis Zahid Paningrome yang karyanya lebih futuristik, disamping kritik filmnya yang cukup disegani kalangan kritikus film dan filmaker.
Di bidang teater, disamping Teater Lingkar yang telah melegenda (40 th), Semarang pernah mencatat Theatre of Pain Alex Poerwo yang berkonsep teater kesakitan. Kemudian belakangan Komunitas Kaligawe (Kowe) Teha Edy Djohar yang berdasar meTAIkologi, antaralain pernah pentas jalanan manusia sampah, lalu berkubang di area pembuangan kotoran manusia di kampungnya, Tanggungrejo.
Tentang Teha, kembali Daniel bekomentar, sisi kemenarikannya sebagai penanda ciri seniman Semarang. Bahwa, begitu dihadapkan pada persoalan penggusuran rumah bantaran dan tambak di kampungnya, maka sertamerta Teha melibatkan para seniman untuk performance di Pemkot atau di hadapan Satpol di lokasi penggusuran sambil berteriak: lawan!
Demikian, celakanya banyak orang Semarang sendiri memberi stigma: seni dan sastra Semarang nihil. Ya saja, karena kebanyakan nama yang telah saya sebut lebih memilih 'jalan sunyi' sebagai penyair atau seniman. Atau mereka tidak memilih pangung gaya/'keindahan', tapi lebih turun ke jalan atau ke arena perlawanan kongkrit.
Ya, mereka yang memberi cap buruk, ternyata karena lebih memuja panggung hura-hura, bergerombol, selfi, ngrumpi. Untuk menjadi sastrawan dan seniman tentu saja mereka tak sanggup menempuh jalan sunyi, apalagi jalan perlawanan, lalu menuding dada sendiri seraya berkata: kesenian Semarang sepi.
Video pilihan: