Warung di antara pertokoan itu sepi. Warung angkringan dan ibu penjualnya yang terkantuk. Hanya seorang anakmuda sedang ngopi sambil main ponsel. Karena sepi saya mampir ngopi sembari ngudud. Saya lihat nasi bungkus dan jajanan masih banyak.
![]() |
Eko Tunas |
Oleh: Eko Tunas
KANDANK WARAK - Warung di antara pertokoan itu sepi. Warung angkringan dan ibu penjualnya yang terkantuk. Hanya seorang anakmuda sedang ngopi sambil main ponsel. Karena sepi saya mampir ngopi sembari ngudud. Saya lihat nasi bungkus dan jajanan masih banyak.
Ibu itu tampak menunjukkan kesabaran di rautnya. Bagi saya ibu ini tidak berjualan. Sebagaimana semua penjual warung angkringan lebih memberi makan. Hanya dengan sepuluh ribu kita bisa makan kenyang. Bayangkan kalau kita makan di restoran.
Apalagi di hotel berbintang empat atau bintang 7. Berapa puluh/ratus ribu untuk sekali makan. Padahal sama kenyang kalau kita nongkrong di warung angkringan. Termasuk asupan nutrisi gizi. Plus boleh berlama androidan atau ngobrol.
Hal ini pernah saya sampaikan kepada Wiek Ariwibowo. Teman kita mantan wartawan dan orang teater. Selepas kerja jurnalisnya dia membuka warung angkringan. Saya tegaskan: Mas Wiek pejuang karena beliau tidak berjualan tapi justru memberi makan.
Saya sedang menulis ini saat tak tersadari warung si ibu sabar penuh pengunjung. Saya lihat di depan warung beberapa sepedamotor dan mobil terparkir. Kebanyakan pria. Ada juga sopir taksi dan di sebelah saya tukang parkir. Saya lihat senyum si ibu mengembang.
Bu Sabar lebih repot saat seorang pria muda datang mau membeli 30 bungkus nasi, 30 gorengan, 10 bungkus teh, 10 bungkus kopi dan rokok. Saya agak terpana saat Bu Sabar bilang agar nasinya 15 bungkus saja dan gorengannya juga 15 potong saja.
Tak lain kalau sesuai permintaan nasi dan gorengan akan habis. "Kasihan kalau nanti ada yang mau makan." Saya semakin yakin pada tesis saya. Bahwa penjual warung angkringan bukan sekadar mencari uang. Sebagaimana Bu Sabar lebih sebagai ibu yang menganggap pembelinya anak-anaknya.
Saat berpamit saya lihat raut sabar dan senyum tulus si ibu. Sungguh di hari minggu ini saya merasa bertemu ibu saya. Bagi anda yang masuk cafe atau hotel mungkin anda membeli mahal gaya atas gengsi. Tapi untuk angkringan dan Bu Sabar, berapa saya mesti membayar kebahagiaan ini. Tak terhitung, tak terukur, tak ternilai.
Semarang 11 Februari 2018
Video pilihan: