Lukman Wibowo/Foto: Kandank Warak Oleh: Lukman Wibowo* Mata (1) Mata bisa berbicara, mata juga bisa memejamkan kata M...
![]() |
Lukman Wibowo/Foto: Kandank Warak |
Oleh:
Lukman Wibowo*
Mata (1)
Mata bisa
berbicara, mata juga bisa memejamkan kata
Mata selalu
bergerak dari sua ke sua, dari kala ke kala, dari masa ke masa
Mata adalah muara
bahagia sekaligus kendara nestapa.
Mata hari, mata
rantai, mata hati, mata kaki,
mata pancing, mata
uang, mata keranjang,
mata angin, mata
pencarian, mata pelajaran,
mata kuliah, mata
lensa hingga mata naswa semua adalah mata mata.
Mata mata
memenggal suara, mata mata menyodorkan nama-nama
Mata mata
merekayasa berita, mata mata menyiarkan dusta
Mata mata menjual
nyawa.
Berlagak sok
jawara, mata ingin menguasai seluruh raga serta jiwa
Berlagak sok
kuasa, mata hendak mengangkangi segala singgasana dan tahta.
Mata!
Kau tak akan lagi
berkuasa jika sudah berada di dalam keranda
Kau tak akan lagi
bisa menjual nyawa jika sudah terhempas sukma
Kau tak akan lagi
bergerak dari masa ke masa jika sudah menutup mata
Ingat mata!
Kelak kau akan
diadili oleh empunya pemilik mata.
LW – Semarang 7/9/2016
Mata (2)
Dari mata turun ke
hati itulah cinta
Dari mata turun ke
kaki itulah langkah
Dari mata turun ke
senjata, boleh jadi itu menggores luka
Dari mata turun ke
perolehan suara, hati-hati itu amanah.
Mata tanpa suara,
tanda itu bersifat pengecut
Suara tanpa mata,
tanda itu bersikap hasut
Mata mestilah
bersuara,
suara mestilah
bermata.
Dari mata turun ke
uji dunia, berkutat pada yang tiga:
harta, tahta, dan
wanita.
Dari mata turun ke
harta itu tidak mesti nafsu murka
Dari mata turun ke
tahta itu tidak melulu nafsu angkara
Dan, dari mata
turun ke liang jelita itu bukanlah zina,
melainkan rahma
dan rahima
Tapi dari mata
turun ke lalim istana itu pastilah kudeta.
LW – Semarang, 10/9/2016
Mata (3)
(Bukan) tentang Cinta Segitiga
Aku telah berpikir
tentang mata itu dan tentangmu
Namun aku tidak
berencana berbuat seburuk apapun
Aku cuma memuja
matamu
Mata yang mirip
dengan mata yang tersimpan di mataku
selama hampir
duapuluh tahun.
Di Blora aku
singgah
Di rumah Pram dan
Kartosuwiryo aku bertanya
Bukan tentang
pemberontakan ataupun darah gemah ripah
melainkan bertanya
tentang hasrat mata yang pernah pupus saat remaja.
Di Tanah Lot
matamu menyala-nyala
Menggelorakan
kembali tentang asmara yang telah diredup padam
Kian matamu
menyala kian mirip dengan matanya
Nyala itu seperti
berkisah tentang cinta yang pernah karam
dimana mata pernah
dibunuh oleh mata.
Hingga senja di
Bratan matamu kian menggetarkan
Dan aku mulai
menyusun kudeta melawan matamu
Namun makin
kulawan makin buruk keadaan
Aku justru terbuai
di pelukan matamu.
Mataku, mata
kekasihku, matanya, dan matamu
Bersundal di dalam
angan berhambur kekacauan
Airmata yang
tumpah ruah dari mata kekasihku
Menumpas semua
rencana buruk pengkhianatan.
LW – Bedugul Bali, 13/12/2016
*Lukman Wibowo; kelahiran
16 Juli 1980. Alumnus Fakultas Teknik. Menulis sastra sejak di bangku SMP. Buku
kumpulan puisinya “Lima Satoe” didokumentasikan oleh SMA 51 Press (Jakarta,
1998).
Meraih juara 1
Penulisan Cerpen tingkat mahasiswa Se-Unnes (2004). Juara 1 Penulisan Cerpen
tingkat nasional Lembaga Seni dan Budaya (Yogyakarta, 2012). Mendapat nominasi
penghargaan dari Humas Polda Jateng terkait esainya yang berjudul Perubahan
Sistemik di Kepolisian di harian Wawasan, 28/11/2009 (Semarang, 2010). Kumpulan
puisi tunggalnya berjudul Nikmat yang Kamu Dustakan.
Video pilihan: