Kelenteng Sam Po Kong Kota Semarang KANDANK WARAK - Bangsa Cina beperan dalam proses kebudayaan di Indonesia baik arsitektur, pakaia...
Kelenteng Sam Po Kong Kota Semarang |
KANDANK WARAK - Bangsa Cina beperan dalam proses
kebudayaan di Indonesia baik arsitektur, pakaian, makanan, maupun tata
kesenian. Begitu juga dalam proses penyebaran agama Islam di tanah Nusantara,
sehingga hal ini menarik untuk diteliti.
Salah satunya
perjalanan Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming, melakukan
perjalanan laut hingga sampai mendarat Kota Semarang. Sebagian besar awak kapal
yang dibawa Cheng Ho beragama Islam. Ada beberapa tokoh seperti Ma Huan, Hasan,
Wang Jing Hong yang dikemudian dikenal dengan nama Kiai Dampoawang, Kung Wu
Ping, Fei Shin.
Dalam konteks
sosial keagamaan, salah satu penanda kebudayaan adalah sesuatu hal yang
ditinggalkan baik material maupun non material, dan inilah yang kemudian
dikenal dengan simbol itu sendiri. Sebagaimana pandangan Emil Durkheim, tujuan
utama simbol adalah membuat masyarakat agar selalu memenuhi tanggung jawab
sosial mereka dengan jalan simbolisasi klan sebagai totem mereka.
Simbol menjadi bagian
dari kunci utama memasuki kehidupan spiritual, dan bahan utama simbol adalah
alam fisik seperti peninggalan berupa bangunan. Karena setiap agama selalu
mempunyai simbol-simbol tersendiri agar lebih mudah diterima ajaran-ajarannya
oleh umat manusia.
Mengkaji Kelenteng
Sam Po Kong memang menarik, salah satu unsurnya yakni tentang simbol itu
sendiri. Melalui simbol-simbol agama dan kebudayaan yang tampak, seperti unsur dominan dan unsur instrumental
(tambahan).
Unsur dominan
yang ada di komplek kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu Semarang adalah altar
penyembahan. Meliputi altar pemujaan untuk tuhan Allah, dan altar pemujaan
untuk dewa penjaga pintu. Kedua altar ini ada disetiap bangunan di komplek
kelenteng Sam Po Kong. Meliputi ruang pemujaan Sam Po Tay Djien, ruang pemujaan
kepada Dewa Bumi, ruang pemujaan kepada Kyai Juru Mudi Dampo Awang, ruang
pemujaan Kyai Jangkar, dan ruang pemujaan kepada Kyai dan Nyai Tumpeng yang
disampingnya bersemayam Kyai Tjundrek Bumi.
Altar pemujaan
tersebut merupakan altar khas yang ada disetiap bangunan pemujaan yang
bernafaskan Khong Hu Chu. Altar merupakan “perantara” setiap pengunjung untuk
berhubungan dengan dewa-dewa itu, sekaligus menyampaikan segala permohonannya.
Dengan begitu, berdasar pada unsur dominan yang ada, maka simbol yang tampak
adalah simbol Khong Hu Chu.
Sedangkan unsur
instrumental adalah unsur tambahan yang ada pada setiap tampakan simbol. Unsur
ini memberi fungsi khusus pada bangunan yang bersangkutan. Dilihat secara
simbolik, unsur instrumental yang ada pada setiap bangunan komplek kelenteng
Sam Po Kong adalah sebagai berikut.
Pertama, pada ruang pemujaan Sam Po
Tay Djien unsur tambahannya adalah toapekong Sam Po. Benda ini tidak akan
dijumpai pada bangunan lain di komplek kelenteng ini. Kedua, pada ruang
pemujaan Dewa Bumi adalah patung Dewa Bumi yang tidak ada pada bangunan lain. Ketiga,
pada ruangan Makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang justru Makam itu sendiri dan ruang
yang menghiasinya sebagai unsur instrumentalnya. Keempat, pada Makam
Kyai dan Nyai Tumpeng, disamping kedua Makam tersebut juga Kyai Cundrik Bumi
sebagai unsur tambahannya. Kelima, pada ruang pemujaan Kyai Jangkar,
unsur tambahannya adalah replika Jangkar tersebut.
Simbol Cina
dan Jawa
Hampir semua
penampakan simbol pada setiap bangunan Kelenteng Sam Po Kong adalah simbol
Cina. Mulai dari bentuk bangunan-bangunan yang ada di komplek kelenteng sampai
pada perlengkapan yang ada didalamnya. Dominasi warna merah dan kuning yang
membungkus tembok serta pernak-pernik yang ada adalah warna “sakral” Cina
(Khong Hu Chu). Setidaknya hal diatas ditunjukkan oleh benda-benda tersebut
dibawah ini, yaitu ; pertama, Toapekong Sam Po (sekalipun, konon dibuat oleh
Wang Jinghong yang notabene Muslim). Kedua, toapekong Dewa Bumi dan gambar
sosok dewa-dewa26 yang letaknya diatas pintu ruangan pemujaan Dewa Bumi.
Ketiga, altar pemujaan yang ada disetiap
bangunan komplek
kelenteng.
Disamping itu,
arsitektur bangunannya adalah arsitektur khas Cina. Atap yang bertingkat serta
ruangan yang terbagi dua, ruangan dalam dan serambi, seperti yang ditunjukkan
di bangunan pemujaan Sam Po Tay Djien, bangunan Makam Kyai Juru Mudi Dampo
Awang,27 dan bangunan pemujaan Dewa Bumi.
Model bangunan
seperti inilah yang kemudian menjadi trade-mark sebagian besar masjid
disepanjang pesisir utara Jawa yang dibangun antara abad XV sampai XVI M.
Hiasan bunga teratai28 dan ular naga yang terdapat dipagar ruang pemujaan Dewa
Bumi, dan dipintu gerbang komplek kelenteng. Hio (dupa) dan lilin berwarna
merah dari berbagai ukuran yang “mengiringi” disetiap permohonan kepada Yang
Kuasa.
Dominasi
penampakan simbol Cina hampir menghiasi pada setiap sudut bangunan komplek
kelenteng Sam Po Kong, adalah wajar karena rombongan ekspedisi Cheng Ho berasal
dari daratan Cina dan sekarang-pun dikelola dan dipergunakan oleh orang-orang
Cina, sekalipun tidak se-iman dengan Laksamana Cheng Ho.
Simbol Jawa lebih
banyak ditampakkan oleh kegiatan ritual (baik perseorangan maupun rombongan)
yang seringkali dilaksanakan di komplek kelenteng ini. Objek material
penampakkan simbol Jawa ditunjukkan adanya. Penggambaran sosok dewa-dewa yang
ada diruangan tersebut, juga mempunyai kemiripan dengan tokoh-tokoh dewa yang
ada pada mitologi agama Buddha (khususnya aliran Mahayana) dan agama Tao.
Bangunan inilah
yang menurut dugaan sebagian besar sejarawan adalah masjid yang didirikan
ketika Cheng Ho mendarat pertama kali di Semarang. Lebih lanjut baca, Amen
Budiman (1978),Jongkie Tio (tth), Djawahir Muhammad (1995), Khong Yuan Zhi
(2000), Beny G. Setiono (2002), Sumanto Al-Qurtuby (2003), Misbah Zulfah
Elizabeth (2003), HJ. de Graaf, dkk (2004).
Bunga yang dalam
mitologi tiga agama tertua Cina (Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha) adalah sebagai
tempat duduk Dewi Kwan Iem (Dewi Welas-Asih). Tungku pembakaran kemenyan dan
tempat sesaji. Tungku dan tempat sesaji tersebut ada di ruang makam Kyai Juru
Mudi Dampo Awang dan makam Kyai dan Nyai Tumpeng.
Ritual-ritual
yang dilakukan perseorangan pada malam-malam tertentu adalah penampakkan simbol
Jawa. Nuansa Jawa memang terlihat sangat kenthel di kedua Makam ini. Juru Kunci
kedua Makam dan ruang persemayaman Kyai Jangkar adalah orang-orang yang masih setia
dengan “ubudiyah” Kejawen.
Sewaktu Juru
Kunci menyampaikan permohonan pengunjung didepan altar, memakai doa dan mantra
berbahasa Jawa. Bentuk atap ruangan Makam Kyai danNyai Tumpeng adalah bergaya
joglo.32 Serta identifikasi dari simbol Jawa selanjutnya adalah, julukan yang
diberikan kepada “orang dekat” Laksamana Cheng Ho, Wang Jinghong (Ong King
Hong) dengan sebutan Dampo Awang.
Legenda tokoh
Dampo Awang dikalangan masyarakat Jawa, utamanya pesisir utara Jawa Tengah
begitu terkenal. Cerita-cerita rakyat yang beredar di Kudus, Jepara, Rembang,
Kedu, Kebumen, dan Ponorogo menurut Dr.G. Th. Pigeaud, berkesimpulan bahwa Dampo
Awang adalah juragan yang memiliki banyak kapal.
Menurut Umat
Hindhu (Bali) sebelum semedi membakar kemenyan dalam tungku, dan rutin meletakkan
sesaji (buah, makanan dan bunga-bungaan dengan hiasan janur kuning) di pure,
sudut rumah dan tempat-tempat yang mempunyai “nilai lebih”. Jadi, membakar
kemenyan dan mempersembahkan sesaji dalam kegiatan semedi merupakan sinkretisme
Jawa-Hindhu, yang masuk ke Indonesia setelah Buddha. Persembahan sesaji-pun
dilakukan oleh umat Khong Hu Chu, Tao, dan Buddha.
Video pilihan: